Pasukan Berani Mati
Prolog Buku : Hanya Tuhan yang Tak Bisa Dikalahkan; Kepak Sayap Garuda Menembus Piala Dunia
Apa yang pertama kali kita bayangkan tentang dunia sepak bola Indonesia dalam beberapa tahun terakhir?
Konflik antar pengurus yang terus-menerus diliput media? Isu suap yang melanda timnas (tim nasional) saat takluk 3-0 atas Malaysia di leg pertama final Piala AFF (Asean Footbal Federation) 2010? Sederetan klub yang enggan melepas pemain untuk tampil membela negara karena PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dikuasai pengurus yang berbeda kepentingan? Liga Indonesia yang kerap menampilkan kerusuhan antarsuporter? Pengelolaan liga domestik yang mengaku profesional, tapi jauh dari kata yang terus didengungkan? Terlalu banyak hal, dan semuanya seolah hanya meninggalkan kesan negatif semata.
Sepak bola, tak bisa dimungkiri, adalah olahraga paling mengundang perhatian publik di negeri ini meski baru sekali lolos ke Piala Dunia, itu pun kala bernama Hindia Belanda. Tak hanya itu, Indonesia juga dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki suporter paling fanatik.
Meski demikian, seseorang pernah berkata, mudah saja jika ingin tahu apakah sepak bola di sebuah negara, sukses atau tidak. Jika yang muncul dalam berita demi berita adalah para petinggi federasi, bukannya para pemain yang mencetak prestasi, berarti cuma ada satu kesimpulan: sepak bola di negara tersebut kehilangan rohnya karena hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan yang menguntungkan segelintir orang.
Sungguh ajaib. Di tengah konflik sepak bola yang tak kunjung usai ini, muncul nama Timnas U-19 (Under-19) yang mendobrak keadaan. Mereka unik, sederhana, merakyat, tapi elegan. Mereka yang masih muda belia ini, mudah dijangkau sekaligus menampilkan kesan berkelas yang membuat siapa pun kagum melihatnya. Secara singkat: Timnas U-19 menunjukkan bagaimana cara bermain sepak bola yang benar kepada siapa pun, termasuk timnas yang lebih senior. Dan yang terpenting, mengajari kita cara menikmati olahraga yang paling populer di dunia ini.
Rekam jejak Timnas U-19 dalam waktu kurang dari dua tahun saja, rasanya tak mudah tertuang dalam ribuan lembar. Terlalu banyak kisah penuh perjuangan yang terukir dari kaki mereka di lapangan hijau. Teramat hebat pengorbanan mereka sehingga novel inspirasi paling dahsyat sekalipun seakan cuma menjadi bungkus kacang goreng.
Sebagaimana seorang fans yang melukiskan gambaran idolanya, demikian pula niatan merangkai tulisan dalam buku ini. Timnas U-19 bukan sekadar meraih gelar pertama dalam 22 tahun terakhir bagi timnas Indonesia di segala umur, mereka juga menyajikan tontonan sekaligus tuntunan. Menggairahkan sekaligus menjadi inspirasi bahwa sepak bola Indonesia masih bisa bicara di level Asia. Lebih dari itu, anak-anak muda itu mengajarkan sebuah hal yang sering terlupakan: tak ada yang mustahil jika Allah menghendaki!
Alhasil, suara lantang Valentino “Jebret” Simanjuntak yang menyampaikan jalannya pertandingan Indonesia kontra Vietnam di final Piala AFF U-19 terus berdengung. Penjaga gawang lawan, Le Van Truong bersiaga. Ilham adalah penendang kesembilan dalam drama adu penalti ini. Jika bola masuk, artinya Indonesia untuk pertama kalinya meraih gelar dalam 22 tahun terakhir.
Langkah Ilham terlihat mantap meski rantai besi yang menggelayut di kedua kakinya. Bagaimana tidak, puasa gelar selama 22 tahun akan ia tentukan dengan tendangan penaltinya. Fokus. Hanya itu yang ada dalam pikiran. Dibayangkannya wajah sang ibu yang tersenyum kala eksekusinya berhasil. Ibu yang membesarkan Ilham seorang diri sejak berusia sembilan tahun.
Suasana tegang. Valentino Simanjuntak memilih diam tak mengeluarkan kata. Lalu, waktu berjalan begitu cepat. Tembakan kencang Ilham Udin Armaiyn mengarahkan bola ke sudut gawang, membentur tiang, dan tak memberi kesempatan bagi Le Van Truong. MASUK!
“Jebret! Jebret! Jebret! Gol! Gol! Gol! Berikan aku seribu orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya! Berikan aku satu pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia! Indonesia Juara! Garuda Muda juara!” teriak histeris Valentino Simanjuntak sekuat tenaga. Teriakan yang menegakkan bulu roma. Meluapkan gairah hingga ke ubun-ubun. Sampai, tak sadar beberapa di antara kita menitikkan air mata.
Sejarah. Itulah yang dibuat oleh Timnas U-19 besutan Indra Sjafri. Di tengah konflik persepakbolaan nasional yang belum sepenuhnya mereda, di tengah cibiran terhadap Timnas Senior yang kering prestasi, dan di antara isu bobroknya kompetisi domestik, Garuda Jaya, julukan Timnas U-19, seperti memberikan obat pelipur lara paling mujarab.
Anak-anak muda ini, hampir semuanya datang dari pelosok, bukan dari tim-tim elite yang selama ini meninabobokan kita dalam ketidakberdayaan. Anak-anak ini belum juga mengecap level teratas kompetisi Indonesia yang dilanda dualisme dan belum pernah memberikan prestasi menjanjikan di level Asia. Mereka juga bukan orang-orang yang kenyang dengan teriakan dukungan dari puluhan ribu suporter.
Namun, justru dengan kesederhanaan yang menyelubungi, Timnas U-19 sukses mencapai apa yang tak bisa dicapai timnas yang lebih senior: gelar juara. Kala Timnas Senior selalu dibuat kalang kabut oleh wakil-wakil Asia Timur, Timnas U-19 menghajar Korea Selatan 3-2 dengan permainan ciamik sepanjang 90 menit; bukan mengandalkan keberuntungan, apalagi hanya mengandalkan serangan balik. Dua gol yang disarangkan Korea Selatan di jaring Ravi Murdianto juga bisa dibilang sebuah keberuntungan karena hanya didapat dari titik putih dan bola mati, bukan dari skema permainan yang apik dan menarik.
Jika timnas yang lebih senior kocar-kacir kala menghadapi lawan yang jauh lebih tangguh, maka tidak dengan Timnas U-19. Ada sosok Ravi Murdianto yang menjadi sosok paling heroik dengan penyelamatan demi penyelamatannya. Di depan Ravi, Hansamu Yama Pranata hadir sebagai palang pintu. Kemudian, Muhammad Fatchurohman yang mengingatkan kita pada Philipp Lahm yang sangat bagus menghadang serangan-serangan lawan kala membela Timnas Jerman.
Barisan gelandang memiliki Evan Dimas sang pengatur serangan yang kerap menjadi pemecah kebuntuan kala para penyerang mandul. Ada pula Muhammad Hargianto dan Zulfiandi yang menjadi rekan trio Evan Dimas.
Deretan penyerang sangat kaya. Sosok Ilham Udin Armaiyn, Yabes Roni Malaifani, Dinan Yahdian Javier, hingga Maldini Pali siap mengiris dari sayap. Sebagai predator kotak penalti, ada Muchlis Hadi Ning Syaifullah. Dan, semuanya tak akan lengkap jika tak dipandu oleh staf pelatih yang dipimpin sosok Indra Sjafri.
Ada kalanya sekian orang terjebak dalam sejarah; hanya ingin mengenangnya, bahkan tanpa berusaha mengulangi. Namun, berbeda dengan “pasukan berani mati” di Timnas U-19 ini, mereka tidak mau sekadar mengulang sejarah kebesaran Indonesia, tetapi menciptakannya!
Melalui buku ini, kita akan belajar banyak dari daya juang mereka yang tak henti-hentinya membanggakan rakyat. Berlatih keras bukan sekadar untuk kepentingan pribadi saja, tapi lebih dari itu: untuk bangsa Indonesia seluruhnya. Komitmen untuk mewujudkan impian berbasis pada kesadaran spiritual bahwa hanya Tuhan yang tak terkalahkan juga telah membuat mereka semakin mantap kala menapaki hari-hari menjelang Piala Asia di Myanmar Oktober 2014 mendatang! []
Tinggalkan komentar